Pagi itu Danu di
dalam kamarnya yang tampak berantakan dan tak rapi tampak bermalas-malasan di
tempat tidurnya. Jam weker yang berada di atas meja belajarnya telah
menunjukkan pukul delapan pagi. Ia malah tampak menguap saja berkali-kali tanpa
menghiraukan matahari yang telah menjulang tinggi.
“Dan…bangun, bangun,
bangun, sampai di panggil berkali-kali oleh ibunya, Danu tetap saja tidak
bangun. Akhirnya Danu!” teriak Bu Fatimah membangunkan Danu.
Akan tetapi Danu
tetap saja teguh dengan pendiriannya untuk tetap menikmati tidurnya bagaikan
menikmati surga di alam bawah sadarnya. Pada saat itu ia merasa telah menjadi
seorang raja yang kaya raya dan mempunyai banyak permaisuri yang senantiasa
dikawal oleh pengawal yang kekar badannya yang selalu siap menjaga kapan pun
dan di mana pun ia pergi. Sesaat ia tengah jalan-jalan dengan salah satu
permaisurinya yang begitu mempesona.
“Duh, sungguh nikmat
serta beruntunglah akau mendapatkan seorang permaisuri yang begitu cantik dan
mempesona.” Begitulah kata-kata Danu dalam hatinya.
Di tengah-tengah
perjalanan, tiba-tiba hujan menguyur mereka berdua sehingga basah kuyup.
Mendadak sang permaisuri marah kepadanya tanpa sebab. Karena tak kuat dengan
rasa dingin dan marahnya dari permaisuri, Danu pun mulai perlahan-lahan membuka
matanya. Saat terbagun ia sudah basah kuyup seluruh tubuhnya. Ternyata Bu
Fatimah telah menyiram Danu dengan seember air sambil marah-marah.
“Aduh, Bu’….Ibu ini
gimana tho? Kok Danu disiram air, kan dingin Bu.”
“Oalah, le, le, dasar
anak nggak tahu diri! Sekarang ini sudah jam berapa?”
“Baru aja jam
setengah Sembilan, kan masih pagi Bu…” wong nanti masuk kuliahnya jam setengah
sepuluh.”