Gara – Gara Sebatang Rokok
Siang itu suasana di SMK KESATRIAN sedang ramai oleh kegaduhan para
siswanya. Mereka sedang duduk di kantin sekolah. “ Mau rokok ? ” Kata Salim
sembari meniupkan asap ke wajah Aji. Salim yaitu anak berbadan tinggi besar dan
seorang yang sudah mendapat nama sebagai penguasa kelas atau termasuk salah
satu penguasa sekolah. “nggaa” Kata Aji. Telihat tubuhnya berukuran sedang.
Sedikit kurus tak seperti temannya.
“Cobalah. Kau
jangan jadi anak mamih!” Kata Salim.“Penakut! Belum sunat lo?!,” kata teman
Salim sembari telapak tangannya menepuk pundak Aji. “Dasar banci!” Kata satu
temannya lagi. “Gak gaul”, teman yang satu lagi menambahkan. Mereka berempat
teman-teman satu kelas dengan Aji.
Berhari-hari Aji selalu menjadi
bahan canda dan ejekan di kelasnya. Karena, siapa lagi seorang anak yang
berwajah culun dan pendiam selain dia? Hari itu mereka menyuruh Aji untuk
merokok. Tapi dia menolak. Tentunya hak setiap orang berbeda. Tapi penolakan
Aji seakan awal dari bencana. Tawaran merokok adalah harga mati yang harus
disetujui. Aji tak banyak berkomentar. Ia hanya memberikan sedikit alasan
penolakannya.“Aku ngga boleh ngrokok sama bapakku.” Memang bukan hanya Salim
dan teman-teman satu gengnya saja yang memperlakukan Aji seperti boneka banci.
Sebagian teman satu kelasnya pun memperlakukan hal yang sama walau hanya
ikut-ikutan. Itu karena mereka tertular dari sikap Salim dan teman-temannya.
Itulah daya tarik Salim sebagai anak
yang lumayan tampan dan berbadan kekar di sekolahnya. Sehingga mampu
menggerakkan banyak siswa.
Suasana dalam kantin masih tetap ramai. Berjejeran seorang pelajar
menikmati hidangan. Dan tak lupa menghisap sebatang rokok dengan gaya yang
serius walau dengan sembunyi - sembunyi, dengan raut wajah sangar seakan inilah
kedewasaan lelaki sejati. Memang jam istirahat masih cukup untuk bersantai.
Terlihat kantin berada di halaman belakang kelas. Hanya rangkaian bambu yang
membentuk sebuah bangunan. Ditutupi dengan bilik yang cukup menghalangi
pemandangan pelajar merokok. Suasana makin terlihat rahasia. Hanya kepulan asap
yang bertebaran dan bising tawa para pelajar.
Tapi tidak untuk Aji. Ia tak bisa tertawa atau pun menunjukkan wajah
ketidaksetujuan atas segala sikap Salim dan teman-temannya. Mengapa tidak? Ia
hanya seorang diri. Berstatus hanya Seorang anak Kos - kosan. Ia pun selalu
menyendiri. Hanya asik membaca buku dan komik yang sering ia pinjam di PIOO. Ia
tak punya kekuatan untuk memberontak saat di perolok - olok oleh Salim dan geng
nya. Amarahnya selalu saja di tertahan. Sebagai bukti, terlihat mata Aji merah padam.
kemudian setelah suasana sepi, ia pergi ke WC. Dalam WC mungkin ia mencuci muka
atau mempunyai hajat tertentu. Atau hanya mencuci mata yang cukup terlihat
merah padam.
Dari kelas satu sampai kelas dua di
SMK KESATRIAN, Aji belum menunjukkan sikap memberontak. Ia selalu mengalah atau
kalah. sehingga ia hanya di cap sebagai banci, penakut, anak mamih dan yang
lainnya.
Seakan telah puas. Ia pun keluar WC
dan mungkin terkejut . karena
teman-temannya berhamburan datang melesat cepat dan langsung mendorong Aji
masuk ke dalam WC kembali. Pintu segera dikunci dan bagian luar terdapat tempat
penguncian dengan gembok. Kebetulan atau di sengaja, Salim membawa kunci
gembok. “Hoooi!, kurang ajar! Buka! Buka! Aku tak terima!” kata Aji sembari
menendang pintu. “Hahahaha...,” semua tertawa. “Mampus lo!” Kata Salim. Salim
dan teman-temannya masuk ke kelas sehingga sekitar WC senyap seakan tak ada
siapa-siapa.
kemudian salah satu teman Salim
datang ke situ. Untuk mendengarkan rengekan Aji meminta segera dibuka.
Tapi keadaan tak bersuara. Ia curiga kalau Aji pingsan atau bahkan mati. “Ah...
paling tidur,” ucapnya. Tanpa ada rasa kasihan sedikit pun. Lalu setelah itu ia
pergi kembali dalam kelas.
“brad, ngga ada suara. Apa mungkin tidur kali ya tu bocah,” ia mengadu pada
Salim.“Dia mampus!” Salim berkata lebih kejam. Ia tak khawatir bila Aji mati.
Jam pelajaran terakhir selesai.
Hampir semua siswa berhamburan keluar gerbang. Ada yang berjalan kaki sendirian
atau bersama-sama dengan teman. Ada yang naik sepeda. Banyak pula yang naik
motor: membawa sang pacar, membawa teman, atau sendiri. Tak ada seorang siswa
pun yang membawa mobil kecuali beberapa guru. Tapi tidak untuk Salim dan
teman-temannya. Mereka masih di kelas. Menunggu keadaan lengang. Mereka ingin
mendengarkan sekali lagi rengekan tangis Aji. Seakan terhibur bila mendengar
rengekannya. Tapi mereka harus kecewa. Sekali lagi tak ada suara. “Sial! Dia
nggak nangis.” Teman Salim yang menduga Aji tertidur kini malah menjadi
khawatir. “Jangan-jangan mati!,” katanya. Mereka saling bercakap lirih.
“Jangan-jangan Aji mati.” “Kalau Aji
mati, kamu loh yang bertanggungjawab brad!”. “Cepat buka! Jangan banyak
bacot!”. Bentak Salim. Teman Salim melepas gemboknya. Dengan sorot mata tajam,
perasaan khawatir dan jantung berdegup kencang. Mereka semua pun dalam kondisi
perasaan yang sama. Gelap menambah suasana menjadi mencekam, seram. Apa lagi
bila melihat Aji yang ternyata mati. Tak terbayang bagaimana kegoncangan jiwa
mereka. Terutama Salim. Pelan-pelan, Salim mulai ketakutan. Ia menelan ludah.
Semua terkejut melihat Aji berbaring tak berdaya. Kondisi jiwa mereka seketika
kacau berantakan. “Cepat bawa keluar! Dan kita urus,” kata Salim. “Entar dulu,
kita periksa, Brad. Masih bernafas.” Perasaan mereka kembali normal. Usil
mereka kembali kambuh. Teman Salim menyulutkan bara api rokok ke pipi Aji. Aji
terbangun. Terkejut. Mereka pun tertawa. Tapi segera ia tenangkan kembali. Tak
ada suara dari mulut Aji. Hanya tatapan bara api yang keluar. mereka tak mengajak Aji bicara. Mereka seakan
takut dengan tatapan Aji. “Ayo, cabut! Jangan-jangan kesurupan jin. Hih,
seram.” Mereka tinggalkan Aji begitu saja tanpa ada seucap maaf. Mereka kembali
keluar dari sekolah. “Dasar biadaaab!” ia menangis sembari memukul-mukul tembok
dengan penuh amarah. Kemudian Aji pun berbalik dan berlari sembari mengambil
batu bata dan ditimpuknya keras-keras ke punggung Salim. Sentak Salim
kesakitan, lalu berusaha membalas perbuatan Aji. teman-teman Salim pun membalasnya.
Entah mengapa, baik Salim maupun teman-temannya tak ada yang sanggup melawan
Aji yang seakan kerasukan jin. “Tolong. Tolong,” tiga teman siswi tak sengaja
melihat. “Cepat panggil anak-anak buat memisahkan mereka!” Suasana menegang di
dekat WC. Nampak Salim tak kuasa melawan. Ia terus-terusan menjadi bahan
tinjuan. Berusaha lari, tapi terkena kembali. Luka membekas di wajah dan
berdarah. Temannya tak lagi bisa memisahkan. Mereka dengan terpaksa memanggil
guru. Siswa yang tengah melihat hanya menatap dengan perasaan ketakutan. Mereka
takut akan kekuatan Aji yang sanggup menghajar tubuh Salim yang tinggi besar.
Salah satu siswa mencoba memisahkan tapi malah terkena tinju Aji. Seakan dunia
Aji telah berubah. Menjadi sosok yang ditakuti. Dari jauh guru dan teman-teman
Salim berlarian. “Heh! Berhenti!” .Pukulan demi pukulan tak henti-hentinya
menghajar Salim. “Heh kalian!” Pak Arif,
seorang guru sekaligus staf kesiswaan akhirnya sanggup memisahkan. Setelah
berhasil di pisahkan kemudian mereka dibawa ke kantor.
“Duduk! Kalian mau jadi jagoan, hah?! Siapa yang memulai?!” kata Pak Arif sembari menghisap rokok dan asap bertebaran di sekeliling ruangan. Kemudian mereka saling menunjuk. Dan Salim walau sudah memar di sekitar wajah masih tetap saja menunjukkan perlawanannya. “Sudah! Diam!” Pak Arif membentak mereka sembari memukul keras meja kerjanya. Seakan memang Aji saja biang keladinya. Tapi Pak Arif tak pernah tahu perlakuan Salim. Kemudian setelah di jelaskan ternyata pak Arif lebih berpihak pada Salimdan Salim pun boleh keluar dan kini tinggal Aji sendiri. Pak Arif terus saja menceramahi Aji dan terus dimarahi. Ia di hukum tidak boleh sekolah selama satu minggu. Padahal sebenarnya ia adalah seorang anak yang rajin. Sekitar setengah jam, Aji pun disuruh keluar. Di sekitar kantor, ia melihat bekas tempat kotak untuk menampung suara dari pelajar. Tapi kotak itu telah lama tiada. Terlihat Aji melepaskan seragam sekolahnya. Berwarna biru muda . Lalu dilemparkan baju itu ke tong sampah. “Sekolah macam apa inii..! guru - gurunya saja tidak tahu soal keadilan dan kebenaran.. Aku muak sama sekolah ini... aku tak mau sekolah di sini lagi”. kemudian ia pun melangkah pergi keluar dari SMK KESATRIAN dengan meninggalkan semua buku dan tas yang masih tertinggal di kelasnya.
“Duduk! Kalian mau jadi jagoan, hah?! Siapa yang memulai?!” kata Pak Arif sembari menghisap rokok dan asap bertebaran di sekeliling ruangan. Kemudian mereka saling menunjuk. Dan Salim walau sudah memar di sekitar wajah masih tetap saja menunjukkan perlawanannya. “Sudah! Diam!” Pak Arif membentak mereka sembari memukul keras meja kerjanya. Seakan memang Aji saja biang keladinya. Tapi Pak Arif tak pernah tahu perlakuan Salim. Kemudian setelah di jelaskan ternyata pak Arif lebih berpihak pada Salimdan Salim pun boleh keluar dan kini tinggal Aji sendiri. Pak Arif terus saja menceramahi Aji dan terus dimarahi. Ia di hukum tidak boleh sekolah selama satu minggu. Padahal sebenarnya ia adalah seorang anak yang rajin. Sekitar setengah jam, Aji pun disuruh keluar. Di sekitar kantor, ia melihat bekas tempat kotak untuk menampung suara dari pelajar. Tapi kotak itu telah lama tiada. Terlihat Aji melepaskan seragam sekolahnya. Berwarna biru muda . Lalu dilemparkan baju itu ke tong sampah. “Sekolah macam apa inii..! guru - gurunya saja tidak tahu soal keadilan dan kebenaran.. Aku muak sama sekolah ini... aku tak mau sekolah di sini lagi”. kemudian ia pun melangkah pergi keluar dari SMK KESATRIAN dengan meninggalkan semua buku dan tas yang masih tertinggal di kelasnya.
No comments:
Post a Comment