Blogroll

Selamat Datang di Blogger Palang Merah Remaja WIRA MANSDA Jln. Jenggolo No. 02 (Belakang Stadion Lama)SIDOARJO

Wednesday, September 2, 2015

By maulidiah annisa

Air Mata Untuk Mama
Malam tak berhiaskan bintang hanya awan gelap terterangi sabitan cahaya di atas sana ramai dengan turun berjuta-juta tetesan air saat ini. Pukul 7 malam aku belum mendengar kumandang adzan, aku berusaha berteduh di antara mereka namun tak lama aku memilih untuk cepat pulang. Sekilas dalam pikiran lebih baik cepat pulang dan duduk di rumah dari pada berdiam untuk berteduh sehingganya aku pulang larut malam karena itu. Aku sangat kedinginan, di dalam angkot aku mencoba untuk tak merasa sakit yang tengah menyerang kakiku. Seturunnya aku dari angkot aku segera menyeberang dan berusaha berlari secepat mungkin untuk sampai di rumah, sesampainya di rumah.

“Hiks hiks hiks sakit ma, sakit”
“Sabar ya, sakitnya pasti hilang kok, sayang” dengan mata yang berkaca-kaca Mama mengurut kakiku.
Kata guru Mapel Biologi ku, aku seperti ini karena aku alergi dingin makanya aku rentan terhadap dingin. Hampir setiap hari aku merasakan sakit seperti ini, aku menangis sekencang-kencangnya untuk menahan rasa sakit saat ini.
Keesokan harinya di sekolah, pagi ini aktifitas pertama di sekolah bersama mereka ya, seperti biasa setiap hari senin itu jadwalnya upacara. Hari ini kondisi aku kurang baik mungkin karena kemarin aku kehujanan jadi begini. Ketika aku menghormat kepada bendera merah putih itu penglihatanku remang-remang hingga dalam hitungan detik pun aku tumbang di antara mereka. Masih terdengar jelas mereka memanggil namaku.
“Lin, Alin bangun Lin!”
Memang terasa beberapa orang mencoba mengangkatku, aku ingin sekali mencoba melambaikan tangan dan berkata bahwa aku tidak apa-apa namun aku berusaha menggerakkan kaki pun aku tak bisa. Ingin rasanya aku cepat kembali tegap berdiri menjadi pandu Ibuku di upacara itu namun nyatanya aku sangat sulit membuka mata, beberapa orang kawanku yang menjadi anggota PMR itu membawaku ke ruang guru mencoba menyadarkanku dan salah satu kawanku melepas kaos kakiku.
“Dingin banget kakinya, ya ampun cepet kasih minyak kayu putih” cakap Dhiki sang ketua PMR saat itu.
“Aliiiinnn, bangun lin!”
Aku mendengarnya dan sangat mengenal suara itu, ya itu suara Winda yang telah memegang tanganku dan membaluran minyak kayu putih berusaha menyadarkanku. Ketika Winda melepas tangannya, tanganku mencoba menggapai tangan Winda dan mataku pun dapat kubuka namun tak bisa aku memandang luas sekitarku. Mereka terus membaluri kaki dan tanganku dengan minyak kayu putih namun alhasil tetap terasa dingin bahkan mereka berkata bahwa raut wajahku amat sangat pucat. Perlahan-lahan aku coba untuk bangun dan meminum air hangat yang disuguhkan oleh Bapak. Wakasek. Seusai upacara satu persatu guru menengokku.
“Siapa yang pingsan?” tanya Bu Naini guru piket.
“Ini Alinda, bu” jawab Winda.
“Oh Alinda Anastasya kenapa, lagi sakit ya?” Sapanya padaku dengan mengusap pundakku dan memberi senyuman manis.
Beberapa menit kemudian aku memilih untuk pergi ke ruang kelas yang cukup jauh dari lokasi saat ini, aku disarankan untuk pulang tapi TIDAK! Aku tidak mau pulang, hari ini ada Mapel favoritku -KIMIA.
Tiga hari kedepan aku tidak diizinkan sekolah sama Mama karena kondisiku yang semakin parah, hari keempat aku bergegas untuk pergi ke sekolah.
“Lin, Alin ini Mama bawa sarapan buat kamu,” panggil Mama dengan mengetuk pintu, aku pun segera membukakan pintu.
“Alin, kamu mau berangkat sekolah?”
“Iya ma, sarapannya dibawa saja bareng Mama”
“Alin sayang, kamu masih sakit nak. Kamu jangan dulu sekolah, pulihkan dulu kondisinya nak”
“Enggak ma, Alin nggak apa-apa. Ini Alin bisa tegap berdiri”
“Kamu gak mau nurut sama Mama?” tanya Mama dengan nada yang meninggi, Mama mengunciku.
“Mama buka ma, jangan kunci Alin ma!! Alin pengen berangkat sekolah ma, Mama!!”
Teriakku memanggil Mama namun Mama tak menghiraukan aku, aku berteriak memanggil Mama dengan disertai batuk-batuk dan mengetuk pintu. Satu jam kemudian.
“Mama gak mau kamu semakin sakit sayang, kamu harus banyak istirahat nak”
“Mama bohong, Mama gak sayang sama Alin!” jawabku dengan nada tinggi dan menendang pintu kamar itu.
Terdengar suara kunci itu berputar, pintu terbuka Mama memelukku.
“Mama tidak bohong sayang, Mama sayang sama Alin” tapi dengan segera aku melepas pelukan Mama.
“Kalau Mama sayang sama Alin, izinin Alin pergi sekolah dong ma”
“Iya sayang iya, Mama antar ya”
Sesampainya aku di sekolah, Mama berbincang bersama Ibu guru yang tengah ada dan karena aku sudah telat masuk satu jam pelajaran.
“Bu, Bu itu Alin Bu, Alin batuk darah, mimisan” cakap Friska saat itu syok karena takut darah, bersegera melapor. Saat itu pun aku tak berani memandang mata Mama, tapi Mama masuk ke ruang kelas.
“Alin sayang, kamu tak apa nak?” cakapnya sembari memelukku dan menangis lalu membawaku ke Rumah Sakit terdekat.
Mama bilang, kata dokter aku itu kurang istirahat karena aku terlalu cape, demamku meninggi dan semakin tinggi jadi aku batuk darah dan mimisan. Beberapa hari kemudian aku masih belum bisa mengikuti jam pelajaran seperti biasa. Aku terlamun dan terbawa, teringat ketika beberapa hari lalu aku menendang pintu itu Mama memelukku dan menangis. Aku menghitung hari detik demi detik, ingin rasanya hati ini menjerit tangan ini mengepal mata ini ku pejamkan dan ku teteskan air mata.
Air mata? Mana air mataku, rasa-rasanya telah lama aku merasakan sakit kaki yang luar biasa, aku menjerit-jerit namun air mataku tak hadir. Ke mana air mataku hati ini teringat Mama, mata ini terbuka kondisiku sudah sangat baik, saat ini mataku bersegera melirik jam dinding itu.
“Hah? Udah hampir tengah malam tapi kok Mama belum juga pulang gak kayak biasanya, apa Mama lembur? Tapi biasanya kan ngasih kabar”
Pagi hari pun tiba, aku terbangun oleh sinar mentari yang menyorotku. Pagi gini kan bagus buat jalan-jalan apalagi ini hari minggu. Terdengar suara pintu terbuka, aku bergegas keluar kamar melihat Mama yang baru saja pulang.
“Mama kok baru pulang sih, ma?”
“Iya sayang maaf ya gak kasih kabar, ya udah Mama mau mandi dulu ya”
Raut wajah Mama terlihat pucat, setadinya aku ingin mengajak Mama untuk jalan-jalan bersama tapi rasanya tidak mungkin karena kondisi Mama kurang baik dan mungkin Mama akan istirahat setelah usai mandi nanti.
“Mama aku pergi jalan-jalan dulu bentar ya gak lama kok, Alin segera pulang ma”
“Ya, sayang hati-hati” jawab Mama dengan suara lemas.
Sepulangnya aku, terlihat banyak sekali orang di dalam sana perlahan aku melangkah dengan bertanya-tanya hati ini sungguh amat sangat heran dengan ramainya rumah itu namun ketika aku baru saja memuncak berada di atas teras puncak tangga rumah ini.
“Hah? Mamaaa” aku menjerit-jerit mencoba membangunkan Mama namun apa kata panggilan itu hanyalah harapan.
Tante Irma tengah memelukku saat itu memberitahuku bahwa Mama ditemukan sedang berada di halaman belakang jatuh pingsan dengan selembar tisu yang penuh darah dan ketika itu pula tante Irma yang pertama kali melihat Mama mencoba membangunkan Mama namun kini Mama telah tiada.
Ketika Mama usai dimakamkan.
“Lin, ayo pulang?” cakap tante Irma.
“Kamu tak apa lin?”
“Nggak kok tante, Alin tak apa” dengan suara lemas aku menjawab tanya itu dan segera tersenyum.
Kini malam telah tiba, dengan terbaring lemasnya juga ragaku ini memeluk potret Mama yang ku rindu, aku sungguh tak menyangka akan secepat ini.
“Alhamdulillah Ya Allah, Engkau sampaikan aku di sepertiga malam ini aku lekas tersenyum dan bersegera mengambil air wudu. Dalam doaku di sepertiga malam ini.
“Ya Allah, aku sungguh sangat tak menyangka Mama akan pergi secepat ini.”
Teringat ketika tante Irma memandang potret Mama yang ada di sana, tante Irma sempat menangis walau hanya satu tetes ku lihat.
“Ya Allah sudah beberapa hari aku tak berjumpa dengan air mataku ini, ke mana dia?
Alhamdulillah terima kasih atas ukiran senyuman yang Engkau ridhai hingganya terkiaskan di bibir ini ketika pemakaman Mama tapi tak patutkah aku menangis seperti tante Irma ketika memandang potret Mama walau hanya setetes saja Ya Allah, Alin mohon izinkan mata ini untuk menangis. Ya Allah, Mama yang selalu mendekapku ketika aku menangis kesakitan karena sakitku yang menjadi-jadi, Mama yang mendekapku, Mama yang ikhlas selalu untuk menyandarkan benakku di pundaknya, Mama yang selalu mengepal tanganku dengan ketegaran hati sucinya. Ya Allah aku sadar aku telah membuat Mama menangis dan terlalu sering membuatnya menangis. Maafkan hamba-Mu ini Ya Allah.”
Aku peluk potret Mama yang menenangkanku dan kupejamkan mata ini.
“Ma, Alin rindu Mama. Alin ingin tidur bareng sama Mama saat ini” ungkapan rinduku dalam hati. Alhamdulillah wasyukurillah ketika ku buka mata ini. Air mataku telah tertetes di pipi dan jatuh membasahi potret Mama yang saat ini ku pandang.
“Ya Allah terima kasih atas segalanya, Mama” kuhapus air mata yang telah terjatuh, kulantunkan surat favorite Mama, Surat Al-Qoriah dan ku tambahi surat Al-Fatihah untukmu Mama. I need you, I miss you, I love you Mama.


No comments:

Post a Comment

  Google Pagerank Powered by  MyPagerank.Net

Translate

Web Blog

Blogger news

Yahoo bot last visit powered by MyPagerank.Net Msn bot last visit powered by MyPagerank.Net

Recent Comments