Blogroll

Selamat Datang di Blogger Palang Merah Remaja WIRA MANSDA Jln. Jenggolo No. 02 (Belakang Stadion Lama)SIDOARJO

Sunday, September 28, 2014

Gara – Gara Sebatang Rokok



Siang itu suasana di SMK KESATRIAN sedang ramai oleh kegaduhan para siswanya. Mereka sedang duduk di kantin sekolah. “ Mau rokok ? ” Kata Salim sembari meniupkan asap ke wajah Aji. Salim yaitu anak berbadan tinggi besar dan seorang yang sudah mendapat nama sebagai penguasa kelas atau termasuk salah satu penguasa sekolah. “nggaa” Kata Aji. Telihat tubuhnya berukuran sedang. Sedikit kurus tak seperti temannya.
“Cobalah. Kau jangan jadi anak mamih!” Kata Salim.“Penakut! Belum sunat lo?!,” kata teman Salim sembari telapak tangannya menepuk pundak Aji. “Dasar banci!” Kata satu temannya lagi. “Gak gaul”, teman yang satu lagi menambahkan. Mereka berempat teman-teman satu kelas dengan Aji.
 Berhari-hari Aji selalu menjadi bahan canda dan ejekan di kelasnya. Karena, siapa lagi seorang anak yang berwajah culun dan pendiam selain dia? Hari itu mereka menyuruh Aji untuk merokok. Tapi dia menolak. Tentunya hak setiap orang berbeda. Tapi penolakan Aji seakan awal dari bencana. Tawaran merokok adalah harga mati yang harus disetujui. Aji tak banyak berkomentar. Ia hanya memberikan sedikit alasan penolakannya.“Aku ngga boleh ngrokok sama bapakku.” Memang bukan hanya Salim dan teman-teman satu gengnya saja yang memperlakukan Aji seperti boneka banci. Sebagian teman satu kelasnya pun memperlakukan hal yang sama walau hanya ikut-ikutan. Itu karena mereka tertular dari sikap Salim dan teman-temannya. Itulah daya tarik Salim  sebagai anak yang lumayan tampan dan berbadan kekar di sekolahnya. Sehingga mampu menggerakkan banyak siswa.
Suasana dalam kantin masih tetap ramai. Berjejeran seorang pelajar menikmati hidangan. Dan tak lupa menghisap sebatang rokok dengan gaya yang serius walau dengan sembunyi - sembunyi, dengan raut wajah sangar seakan inilah kedewasaan lelaki sejati. Memang jam istirahat masih cukup untuk bersantai. Terlihat kantin berada di halaman belakang kelas. Hanya rangkaian bambu yang membentuk sebuah bangunan. Ditutupi dengan bilik yang cukup menghalangi pemandangan pelajar merokok. Suasana makin terlihat rahasia. Hanya kepulan asap yang bertebaran dan bising tawa para pelajar.
Tapi tidak untuk Aji. Ia tak bisa tertawa atau pun menunjukkan wajah ketidaksetujuan atas segala sikap Salim dan teman-temannya. Mengapa tidak? Ia hanya seorang diri. Berstatus hanya Seorang anak Kos - kosan. Ia pun selalu menyendiri. Hanya asik membaca buku dan komik yang sering ia pinjam di PIOO. Ia tak punya kekuatan untuk memberontak saat di perolok - olok oleh Salim dan geng nya. Amarahnya selalu saja di tertahan. Sebagai bukti, terlihat mata Aji merah padam. kemudian setelah suasana sepi, ia pergi ke WC.
Dalam WC  mungkin ia mencuci muka atau mempunyai hajat tertentu. Atau hanya mencuci mata yang cukup terlihat merah padam.
Dari kelas satu sampai kelas dua  di SMK KESATRIAN, Aji belum menunjukkan sikap memberontak. Ia selalu mengalah atau kalah. sehingga ia hanya di cap sebagai banci, penakut, anak mamih dan yang lainnya.
Seakan telah puas. Ia pun  keluar WC dan mungkin  terkejut . karena teman-temannya berhamburan datang melesat cepat dan langsung mendorong Aji masuk ke dalam WC kembali. Pintu segera dikunci dan bagian luar terdapat tempat penguncian dengan gembok. Kebetulan atau di sengaja, Salim membawa kunci gembok. “Hoooi!, kurang ajar! Buka! Buka! Aku tak terima!” kata Aji sembari menendang pintu. “Hahahaha...,” semua tertawa. “Mampus lo!” Kata Salim. Salim dan teman-temannya masuk ke kelas sehingga sekitar WC senyap seakan tak ada siapa-siapa.
kemudian salah satu teman Salim  datang ke situ. Untuk mendengarkan rengekan Aji meminta segera dibuka. Tapi keadaan tak bersuara. Ia curiga kalau Aji pingsan atau bahkan mati. “Ah... paling tidur,” ucapnya. Tanpa ada rasa kasihan sedikit pun. Lalu setelah itu ia pergi kembali dalam kelas.
“brad, ngga ada suara. Apa mungkin tidur kali ya tu bocah,” ia mengadu pada Salim.“Dia mampus!” Salim berkata lebih kejam. Ia tak khawatir bila Aji mati.
                                                              ****


           Jam pelajaran terakhir selesai. Hampir semua siswa berhamburan keluar gerbang. Ada yang berjalan kaki sendirian atau bersama-sama dengan teman. Ada yang naik sepeda. Banyak pula yang naik motor: membawa sang pacar, membawa teman, atau sendiri. Tak ada seorang siswa pun yang membawa mobil kecuali beberapa guru. Tapi tidak untuk Salim dan teman-temannya. Mereka masih di kelas. Menunggu keadaan lengang. Mereka ingin mendengarkan sekali lagi rengekan tangis Aji. Seakan terhibur bila mendengar rengekannya. Tapi mereka harus kecewa. Sekali lagi tak ada suara. “Sial! Dia nggak nangis.” Teman Salim yang menduga Aji tertidur kini malah menjadi khawatir. “Jangan-jangan mati!,” katanya. Mereka saling bercakap lirih. “Jangan-jangan Aji mati.”  “Kalau Aji mati, kamu loh yang bertanggungjawab brad!”. “Cepat buka! Jangan banyak bacot!”. Bentak Salim. Teman Salim melepas gemboknya. Dengan sorot mata tajam, perasaan khawatir dan jantung berdegup kencang. Mereka semua pun dalam kondisi perasaan yang sama. Gelap menambah suasana menjadi mencekam, seram. Apa lagi bila melihat Aji yang ternyata mati. Tak terbayang bagaimana kegoncangan jiwa mereka. Terutama Salim. Pelan-pelan, Salim mulai ketakutan. Ia menelan ludah. Semua terkejut melihat Aji berbaring tak berdaya. Kondisi jiwa mereka seketika kacau berantakan. “Cepat bawa keluar! Dan kita urus,” kata Salim. “Entar dulu, kita periksa, Brad. Masih bernafas.” Perasaan mereka kembali normal. Usil mereka kembali kambuh. Teman Salim menyulutkan bara api rokok ke pipi Aji. Aji terbangun. Terkejut. Mereka pun tertawa. Tapi segera ia tenangkan kembali. Tak ada suara dari mulut Aji. Hanya tatapan bara api yang keluar.  mereka tak mengajak Aji bicara. Mereka seakan takut dengan tatapan Aji. “Ayo, cabut! Jangan-jangan kesurupan jin. Hih, seram.” Mereka tinggalkan Aji begitu saja tanpa ada seucap maaf. Mereka kembali keluar dari sekolah. “Dasar biadaaab!” ia menangis sembari memukul-mukul tembok dengan penuh amarah. Kemudian Aji pun berbalik dan berlari sembari mengambil batu bata dan ditimpuknya keras-keras ke punggung Salim. Sentak Salim kesakitan, lalu berusaha membalas perbuatan Aji. teman-teman Salim pun membalasnya. Entah mengapa, baik Salim maupun teman-temannya tak ada yang sanggup melawan Aji yang seakan kerasukan jin. “Tolong. Tolong,” tiga teman siswi tak sengaja melihat. “Cepat panggil anak-anak buat memisahkan mereka!” Suasana menegang di dekat WC. Nampak Salim tak kuasa melawan. Ia terus-terusan menjadi bahan tinjuan. Berusaha lari, tapi terkena kembali. Luka membekas di wajah dan berdarah. Temannya tak lagi bisa memisahkan. Mereka dengan terpaksa memanggil guru. Siswa yang tengah melihat hanya menatap dengan perasaan ketakutan. Mereka takut akan kekuatan Aji yang sanggup menghajar tubuh Salim yang tinggi besar. Salah satu siswa mencoba memisahkan tapi malah terkena tinju Aji. Seakan dunia Aji telah berubah. Menjadi sosok yang ditakuti. Dari jauh guru dan teman-teman Salim berlarian. “Heh! Berhenti!” .Pukulan demi pukulan tak henti-hentinya menghajar Salim.  “Heh kalian!” Pak Arif, seorang guru sekaligus staf kesiswaan akhirnya sanggup memisahkan. Setelah berhasil di pisahkan kemudian mereka dibawa ke kantor.
                                                              ****
“Duduk! Kalian mau jadi jagoan, hah?! Siapa yang memulai?!” kata Pak Arif sembari menghisap rokok dan asap bertebaran di sekeliling ruangan. Kemudian mereka saling menunjuk. Dan Salim walau sudah memar di sekitar wajah masih tetap saja menunjukkan perlawanannya. “Sudah! Diam!” Pak Arif membentak mereka sembari memukul keras meja kerjanya. Seakan memang Aji saja biang keladinya. Tapi Pak Arif tak pernah tahu perlakuan Salim. Kemudian setelah di jelaskan ternyata pak Arif lebih berpihak pada Salimdan Salim pun boleh keluar dan kini tinggal Aji sendiri. Pak Arif terus saja menceramahi Aji dan terus dimarahi. Ia di hukum tidak boleh sekolah selama satu minggu. Padahal sebenarnya ia adalah seorang anak yang rajin. Sekitar setengah jam, Aji pun disuruh keluar. Di sekitar kantor, ia melihat bekas tempat kotak untuk menampung suara dari pelajar. Tapi kotak itu telah lama tiada. Terlihat Aji melepaskan seragam sekolahnya. Berwarna biru muda . Lalu dilemparkan baju itu ke tong sampah. “Sekolah macam apa inii..! guru - gurunya saja tidak tahu soal keadilan dan kebenaran.. Aku muak sama sekolah ini... aku tak mau sekolah di sini lagi”. kemudian ia pun melangkah pergi keluar dari SMK KESATRIAN  dengan meninggalkan semua buku dan tas yang masih tertinggal di kelasnya.



No comments:

Post a Comment

  Google Pagerank Powered by  MyPagerank.Net

Translate

Web Blog

Blogger news

Yahoo bot last visit powered by MyPagerank.Net Msn bot last visit powered by MyPagerank.Net

Recent Comments