KEMBARANKU
Kami bertiga berhenti di sebuah minimarket. Seperti biasanya, saat jalan jalan sore, walaupun menggunakan motor.
“Ayah, belikan aku es krim”
“baiklah, Adek mau rasa apa?”
“Strawberry!!”
“Ayah, Abang nggak dibeliin?”
“Baiklah, kalau abang mau, Abang mau rasa apa?”
“seperti biasa Yah. Cokelat!!”
“mari kita pulang, hari semakin malam”
“baiklah Yah”
Ayahku orang yang baik, aku sangat mengidolakannya. Kulitnya hitam,
matanya yang besar dan hitam, rambut hitamnya selalu berkilau di terpa
matahari. Tetapi, aku sangat terkejut saat ayahku mengatakan, “kalian,
jadilah anak yang baik, jangan melawan sama Mama kalian, bercita-citalah
setinggi langit, walaupun Ayah hanya sampai di sini menemani kalian..”
BUARRRRRR!!!
A-Ayahku. S-Saudara kembarku.. me-merekaa. Haaaahhh. Haaaah. Haaahh.
Itu tak mungkin terjadi lagi. Hanya mimpi! hanya mimpi! tak mungkinn!
hanya mimpi. Ayah.. saudara kembarku.
—
“Ting tong ting ong..” Bunyi bel ke luar main, hahh. Ini yang kutunggu
“Hana, ada yang mencarimu di depan pagar, seorang laki-laki, wajahnya ganteng”
“ahh.. yang benar saja ris, aku gak punya teman laki-laki, selain di sekolah kita”
“aku tidak tahu pasti, yang jelas dia mencarimu”
“cieeeeee…”
“haaaahh..”
Saat aku melihatnya, pertama kalinya semenjak 12 tahun tak jumpa
mungkin ini pertanda mimpi tadi. Saudara kembarku yang masih hidup, dia
tinggal di singapura bersama bibi, menjalani operasi dan terapi, di-dia.
Ku peluk erat tubuhnya, tak ingin ku lepas lagi. Aku menangis, selama
12 tahun aku tidak menitikkan air mata, sekarang tak karuan. Aku
mengeluarkan air mata yang tak sedikit, tetapi kenapa? Kenapa dia hanya
diam saat menemuiku, apa dia menjadi bisu semenjak kecelakaan waktu itu?
“Ha-Hana..” apa dia gagap? dia gagap saat mengucapkan namaku.
“A-Aku tidak gagap, aku hanya menahan tangisku, makanya seperti ini”
Dia. Dia tahu apa yang ku katakan dalam hati, kenapa bisa? “Kita kembar
kan, aku mengetahui perkataanmu dalam hati, perasaanmu, dan rasa sakit
yang kau alami” Oh iya.. aku baru ingat, kami kembar yang berbeda, kami
seperti satu tubuh.
Abangku, namanya Rayhan Ashidiqie namanya hampir sama denganku Hana
Ashidiqie, dia sekarang satu sekolah denganku. Dia jadi anak yang
populer di sekolah, dia sangat tampan seperti Ayah, walaupun kulitnya
putih, tapi dia sangat manis, seperti Ayah. Di sekolah, kami lebih
sering berdua, bercanda, bergelut, bermain, kerja kelompok, kami selalu
berdua, saking dekatnya kami dibilang 2 in 1. Kami juga tinggal bersama,
semenjak kecelakaan kemarin, aku hanya tinggal bersama mama, ayahku
meninggal karena jantungnya terjepit saat kecelakaan, padahal baru satu
hari dia operasi jantung.
Kami belajar kimia, kami belajar entah tentang apa, tapi ada air yang
berbahaya bila terkena selaput lendir seperti mata. Entah apa namanya,
Pak guru hanya menyuruh kami berhati-hati tapi..
“Duh.. tali sepatuku tanggal.” Abangku langsung duduk di bawah seraya
memasang tali sepatu, tiba-tiba, aku menyenggol sesuatu dan bahan bahan
kimia yang berbahaya itu menuju wajah abangku.
GEDUBRRAKK!!!
SHHSHHSHHH!!
AAKKHH!! Matanya, matanya, terkena air kimia yang berbahaya itu. Aku
melihatnya, di depan mataku, ta-tapi, aku merasakan sakitnya, sakit.
KYAAAAA!!! Aku menjerit karena merasakan sakit yang sama.
Seminggu kemudian.
“Tok.. tok.. tok.. tok.. tok..”
Karena aku, karena aku dia buta. Aku pun meneteskan air mata. Aku
bodoh, aku bodoh. “Hana, ini bukan karenamu, ini tidak disengaja, jangan
merasa bersalah seperti itu, ini tidak apa-apa..” Walupun ia buta
tetapi dia seperti melihatku, dia tahu aku menangis. Abangku dia masih
tetap sekolah, kemampuannya yang tidak mau sekolah kehilangan
kemampuannya. Beberapa saat kemudian, saat pelajaran sekolah
berlangsung, perutku agak lain dadaku agak sesak.
“Ibu.. apa saya boleh permisi sebentar?”
“boleh.. silahkan Hana” Aku arus cepat rasanya nggak nahan.
HUEEEK..
HUUEEK.
Aku muntah tapi rasanya, warnanya, darah. Aku muntah darah. Jangan sampai orang tahu jangan sampai. Saat aku sampai kelas.
“Hana.. kenapa rasa mulut dan kerongkonganku berasa ada darah yah?”
“hmmm.. mungkin abang tadi kegigit lidah abang sendiri”
“iya.. tadi pas sarapan pagi lidah abang kegigit.. tapi kok sekarang baru terasanya ya?”
“hmm.. adek gak tahu bang”
Tiga bulan kemudian. Aku menyembunyikan penyakit yang entah apa
namanya. Sepertinya abang aku dia tidak tahu, kalau aku sakit.
Sepertinya, ia tidak bisa membaca pikiranku yang satu ini. Aku muntah
darah tiga kali sehari, seperti minum obat rasanya. Tapi badanku, terasa
sangat lemas, lemas, kali ini lebih lemas dari sebelumnya. Hari ini
pelajaran olah raga. Aku harus kuat, jangan jadi anak lemah. “anak-anak,
hari ini kita lari sprint, dan yang mempunyai penyakit yang tidak bisa
dibawa lari harap tidak usah ikut”
Gimana, gimana ini, aku tidak tahu penyakit apa ini, apa boleh dibawa
lari? Ah, jangan dipikirkan, kan aku masih kuat. Saatnya giliranku aku
harus kuat, tapi apa ini, aku ingusan. Tidak, ini, ini
darah. Aku mimisan, mataku kenapa kabur? aku pun terjatuh. Kakiku, sudah tidak sanggup berdiri lagi rasanya.
“Hana.. han kamu kenapa Hanaa. Hannnaa?” aku mendengar kata teman-temanku yang khawatir.
“Hana.. Hana.. Hana.” dan teriakan abangku. Tak tahu kenapa, sepertinya
ini terakhir kalinya aku di dunia. Aku refleks menyebutkan kata-kata
terakhirku.
“teman-teman semua aku minta maaf yah. Aku tahu, aku banyak salah
sama kalian. Aku minta maaf, buat abang, sebagai ganti mata abang yang
buta karena adek, ambillah mata adek, selagi adek mempunyai mata yang
bagus, ambillah.. ambillah.. ambilah…”
“Haannaaa!!!”
“jangan tinggalkan aku!! Hana..” mataku pun tertutup.
—
“Ibu sepertinya umur Hana tinggal beberapa jam lagi. Seandainya dari
dulu dibawa ke dokter, mungkin tak sampai seperti ini. Penyakit yang
dialami anak Ibu adalah penyakit jantung. Seandainya dari dulu ia
memberitahu penyakitnya, dia bisa menjalani operasi yang tak lama.”
mama, dia hanya menangis. Aku mendengarnya. “Hana, teganya kau
meningglkanku. Kau tinggalkan aku dengan Mama, Hana tunggu aku di sana.”
“jadi Ibu, apa kita akan menjalani operasinya?”
“iya dok,”
“baiklah, operasinya akan segera kita jalani”
Seminggu kemudian.
“lihat.. Rayhan tidak memakai tongkat lagi”
“mungkin itu mata kembarannya”
“iya.. kalau aku menjadi Ibu mereka pasti aku sudah bunuh diri”
teman-teman sekelas membicarakanku. Aku, sepi rasanya, tanpa Hana. Hana
sekarang tidur di sebelah Ayah, tapi aku bingung, kenapa penyakitnya
tidak ia pikirkan, kalau ia memikirkannya, pasti aku tahu.
—
Ahhh, silau, silau!! siapa itu? siapa? Sepertinya seseoang lelaki
dewasa, dan anak perempuan yang sama besar denganku. Ah, itu, Hana,
Ayah. Suara tawa Hana, sudah lama tak ku dengar, tapi di mana ini, taman
bunga, ini taman. “Abang!! sini ayo sini. Main sama adek, Ayah, lihat!
itu Abang” Hana, sambil mengayunkan tangan karena ia mengajakku ke
tempatnya, dan sambil menunjukku untuk memberitahu keberadaanku pada
ayah.
“Ahh. Rayhan ayo ikut adek sama Ayah” sambil tersenyum untuk meyakinkanku.
“Apa aku boleh ikut?”
“iya!!” sahut mereka berdua sambil tersenyum.
Mimpi! Mimpi! Hanya mimpi! tapi terasa sangat nyata.
“Rayhan, bangun!!”
“ahh. Iya Mama”
“Rayhan, kamu tidak sarapan?”
“ah.. tidak Mama, Abang udah telat nih”
Beberapa saat kemudian. “ting nong, ting nong”
“iya sebentar..”
“Ibu, kami dari pihak kepolisian melaporkan bahwasannya anak Ibu bernama Rayhan Ashidiqie, telah mengalami kecelakaan.”
“Astaghfirullah ya Allah.. kenapa cobaanku sangat berat sekali?”
—
“Rayhan mengalami pendarahan otak yang cukup parah. Seandainya ia bertahan, mungkin ia akan lupa semuanya, yang telah terjadi”
“jadi dok?”
“dia masih koma, seandainya ia sadar, mungkin sangat tidak mungkin,
karena ia dalam kondisi yang sekarat. Dan juga karena dia pernah
mengalami kecelakaan yang dulu juga membentur kepalanya”
“tiiittt..”
“haaaaah. Rayhan dia..”
“Anakku.. sekarang Mamamu sendiri, kalian semua pergi meninggalkan Mama, kenapa kalian melakukan ini?!”
Raihan. Ia meninggal dalam keadaan tersenyum. Baru satu hari saudara
kembarnya meninggal, ia langsung menyusul. Ia dimakamkan bersebelahan
dengan kembarannya dan Ayahnya.
“Hana, Ayah, tunggu.”
“ayo dong Abang, Abang nih lama kali”
“ayo Rayhan, jangan sampai ketinggalan”
http://cerpenmu.com/cerpen-keluarga/kembaran-ku.html
No comments:
Post a Comment